Saturday 26 January 2013

PERANG ACEH


A.   Perang Pertama

Pada tanggal 8 April 1873 Belanda mendarat di pantai Ceureumen Banda Aceh dalam pimpinan Mayor Jendral J H R Kohler dengan membawa 3198 pasukan, termasuk 168 KNIL. Mereka mengahdapi sistem perlawanan yang terorganisir rapi dari pasukan Aceh. Pada awal pendaratan, pasukan Aceh mundur hingga terjadi pertempuran satu lawan satu. Ketika batalion-batalion mendarat, sembilan prajurit tewas, 46 lainya luka-luka dan sebagian besar menjadi korban tebasan kewelang. Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, prajurit-prajurit Belanda mengelak serangan-serangan dasyat pasukan Aceh. Arteleri pasukan Aceh lebih handal dari yang pernah mereka hadapi. Bahkan pada hari pertama perang, Kapal Perang Citadel van Antwerpen dihujani 12 tembakan meriam.
Rencananya, Kohler ingin mendirikan pangkatan militer di sekitar muara sungai Aceh. Setelah itu, pasukan penyerbu menguasai keraton kediaman Sultan. Kohler menduga, bila istana direbut, tugas utama sudah selesai karena pusat pemerintahan sudah dikuasai dan Aceh pasti menyerah. Belanda masuk ke Banda Aceh melalui jalur sungai dengan menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873. Belanda pikir masjid itu sebagai istana kesultanan karena berada di tengah kota. Pada hari itu juga, Belanda mengurangi jumlah pasukan karenan tidak ada perlawanan. Begitu masjid kosong, giliran pasukan Aceh menguasai masjid tersebut. Hal ini menyebabkan terjadi pertempuran sengit karena Kohler berusaha merebut kembali.
Pada hari ketiga pertempuan, 14 April 1873, Kohler yang berdiri di bawah pohon besar rubuh dan tewas oleh sebutir peluru dari pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polem. Kematian Kohler membuat panik pasukan Belanda hingga kocar-kacir. Posisi Kohler langsung digantikan oleh Kolonel van Daalen dan menarik mundur pasukan. Perang berkecamuk dimana-mana selama 10 hari. Barisan pertahanan Aceh yang semula terdiri dari Peukan Aceh, Lambhuek, Lampu’ik, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya yang semula di Aceh Besar. Bala bantuan juga datang dari Teuron, Pidie, Peusangan dan wilayah lain. Masyarakat bertempur gagah berani yang menyebabkan Belanda kalah.
Ekspedisi yang gagal ini menghancurkan moral pasukan Belanda hingga meninggalkan Aceh pada 25 April 1873. Kekalahan ini benar-benar mengangetkan Belanda yang selama ini meremehkan kemampuan peran pribumi. Sebelumnya, Belanda dengan pasukan seadanya dari berbagai peperangan di Eropa dan Amerika selalu menang seperti Perang Bonjol, Perang Diponeroro dn lain-lain. Hingga memperluas wilayah kekuasaannya di Jawa dan Sumatra di Abad ke-19. Sebaliknya, kemenangan gemilang yang diraih Aceh telah meningkatkan moral mereka terhadap supremasi orang putih dan giat meningkatkan kesiagaan dari kemungkinan penyerbuan kembali. Aceh menduga, Belanda akan menyerang paling tidak 6 bulan lagi.

B.   Perang Aceh kedua

Setelah Belanda dipaksa mundur oleh pasukan Aceh dari Banda Aceh, Belanda berhati-hati untuk tidak mengulangi kesalahan yang kedua kali. Mereka belajar pada serangan pertama tanpan rencana matnag yang menyebabkan Kohler tewas. Kali ini pasukan di pimpin oleh Jenderal van Swieten yang sudah pensiun tapi dipanggil untuk memimpin pasukan yang didampingi oleh Mayor jenderal Verspyk.
Persiapan peperangan dengan memobilisasi operasi besar-besaran ke Aceh pada 11 November 1873. Belanda mengerahkan 22 kapal perang yang mengangkut 8545 pasukan tempur, 4560 pendukund non tempur. Pendaratan dilakukan pada 9 Desember 1873 di rawa bakau pantai utara dengan membangun pagar pertahanan.
Perang terjadi ketika Masjid Raya Baiturrahmandiserbu dan dikuasai Belanda pada 6 Januari 1874. Sasaran berikutny adalah istana kesultanan, sebuah kompleks seluas 600x 250 meter yang dilingkari dinding bambu-bambu runcing selebar 5 meter dan juga lubang-lubang jebakan. Di kompleks istana sudah siaga 40 penembak jitu laskar Aceh.
Belanda menyerbu kompleks istana pada 24 Januari 1874 dengan menembakan peluru-peluru artileri. Namun malam hari sebelumnya, Sultan dan pasukan pertahana telah menghilang dari istana yang sama sekali tidak diduga oleh pasukan penyerbu. Keraton dikuasai oleh Belanda pada 26 Januari dan van Swieten mengucap “de kraton is ons” (kraron sudah kami kuasai) yang didengungkan di Jakarta seolah-olah Aceh sudah kalah karena telah menguasai kraton. Lalu pada  31 januari 1874, Van Swieten memaklumkan bahwa Aceh telah menjadi wilayah Kerajaan Belanda.
Setelah menguasai Banda Aceh, van Swieten di ganti oleh Kolonel Pel (kelak menjadi Jenderal) membangun 38 benteng petahanan seluas 50 meter persegi yang diperkuat oleh 2700 pasukan yang tidak lagi melakukan operasi ofensif. Belanda yakin, pasukan Aceh tidak akan menyerang lagi. Perang Aceh berlangsung sengit yang menimbulkan korban besar pada kedua pihak. Sekitar 1500 pasukan Belanda tewas dalam pertempuran sejak November 1873 hingga           April 1874. Pada Januari 1874, ibukota Banda Aceh dikuasai oleh Belanda yang mulanya menduga peperangan sudah berakhir dengan kekalahan pihak kesultanan. Enam bulan pertama, Aceh terlihat tenang dan Belanda merasa yakin bahwa Aceh sudah dikuasai  sepenuhnya. Namun itu keliru, walaupun keraton sudah dikuasai , rakyat Aceh tidak pernah menyerah Sultan Muhammad bersama keluarga mundur dari istana dan memeimpin perang geriliya. Dan keadaan berubah dan seolah menjadi neraka bagi pasukan Belanda karena sering terjadi penyerangan pada malam hari. untuk pertama kalinya Belanda dihadapkan dengan pola hit and run perang geriliya yang dilakukan pasukan pertahanan Aceh. Belanda kewalahan dengan sistem perang ini di tambah lagi dengan 432pasukannya tewas karena kolera.
 Sultan meninggal karena penyakit kolera pada 26 Januari 1874, secepatnya dia digantikan oleh Tuanku Muhammad Daud (cucu Sultan Ibrahim berusia 10 tahun) yang dinobatkan sebagai Sultan di Masjid Indrapuri. Perang petama dan kedua adalah perang total dan frontal. Setelah Banda Aceh dikuasai oleh Belanda, ibukota berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indra Puri dan tempat lain.
Perang Aceh kedua dipimpin oleh Panglima Polem bersama Tuanku Hasyim memperkuat Lung Bata, sebuah kampung yang strategis di Banda Aceh dan baru jatuh ke tangan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Pel pada Desember 1874 dan Panglima Polem pun menyingkir ke Mukim. Aksi perlawan dilanjutakan di Aceh Besar ketika Imuen Lung Bata, Teuku Muda Baet bersama Teuku Chik Lamnga berhasil membentuk kembali pasukan Aceh dalam jumlah besar pada September 1875. Hingga akhir tahun 1875, Belanda tidak berusaha untuk mengusai Aceh secara utuh.
Den agHhhhhhhhhhhhhHhhhhhhjbjbjgggggggggggg Haag menghendaki sistem operasional tidak dengan operasai ofensif untuk mengejar musuh masuk ke pedalaman. Sebaliknya, menunggu saja di pantai karena dari sisi ekonomi, biasanya orang di pedalaman akan ke pantai. Mereka tergantung ekonomi dari luar dan laut menjadi penghubung dengan dunia luar. Namun keadaan berubah ketika Gubernur Jenderal Johan Wilhem van Goltstein memerintahkan melancarkan serangan ofensif hingga ke pedalaman untuk segera mengakhiri peperangan. Pada Juli 1875, Pel melancarkan operasi militer besar-besaran di Aceh Besar untuk menguasai pesisir pantai dari Krueng Raba di barat hingga Krueng Raja di wilayah timur. Tujuannya untuk mengucilkan hubungan Aceh Besar dari laut, memutuskan jaringan logistik untuk pasukan.
Langkah ini sia-sia karena jalan-jalan di perbukitan yang menghubungkan lembah Aceh dengan Pie dan Pantai barat yang berliku-liku dan terjal. Belanda menyadari bahwa untuk kondisi Aceh tikadak mungkin untuk tetap berpijak pada pantai yang selama ini dilakukan. Tetapi Aceh sama sekali tidak takluk dan tetap[ bertahan di pedalaman dan melakukan penyerangan  geriliya yang masih asing bagi pasukan penyerbu. Pasukan tambahan dari Jakarta dikirim pada Novvember 1875. Namun Aceh tidak berhasil dikuasai sepenuhnya. Bahkan tiba-tiba Jenderar Pel meninggal dunia pada Februari 1876 hingga operaasi militer dihentikan oleh penggantinya Jenderal Wiggers van Kerchem.
Perang Aceh kedua sudah memasuki tahun kedua. Seringkali terjasi kontak senjata sporadis dan tidak terlihat tanda-tanda akan berakhir. Pemerintah Den Haag mulai cemas karena biaya peperangan sudah menelan biaya 70 juta gulden dan Aceh belum berhasil dikuasai. Anggaran mulai dibatasi dan ini mempengaruhi operasi militer. Misalnya rencana operasi ofensif yang ingin dilalakukan Pel ke pedalaman harus diurungkan. Tujuan Pel harus tercapai tahun depan yang dilakukan oleh Jenderal Diemont dengan melaksanakan penyerangan besar-besaran di pinggir Banda Aceh. Pertempuran sengit terjadi pada Januari 1877 di Lam Bada tepi sungai bagian utara Banda Aceh yang di pimpin oleh Teuku Paya yang gigih mempertahankan tanah kelahirannya.

C.   Perang Aceh ketiga

Perang Aceh menjadi duri yang membuat luka yang kian membesar di Den Haag. Misalnya perang yang tidak terlihat ujungnya itu sudah menghabiskan 70 juta gulden yang merupakan sepertiga dari anggaran pemerintah Hindi Belanda. Perang Aceh memonopoli sebagian besar dari pasukan ini sudah termakan usai sedangkan untuk merekrut pasukan baru tidak mudah karena anggaran perang terbatas.
Menteri Peperangan Belanda Jenderal August Willem Philip Weitzel justru merampingkan jumlah pasukan dan fasilitas pembangunan militer di Banda Aceh dan mengurangi pos-pos militer di luar kota. Sebagai gantinya dibangun beberapa basis konsentrasi pertahana, yang menurutnya cara efektif menaklukan Aceh. Sistem garis konsentrasi adalah mempertahankan pantai yang sudah dikuasai. Sistem ini dapat di tinggalkan saecara sporadis bila sewaktu-waktu harus melakukan serangan ofensif mengejar musuh.
Sisitem garis konsentrasi pertahanan mulai dibangun pada 20 Agustus 1884 yang terdiri dari 16 benteng pertahanan. Kekuatan benteng itu yakin terdiri 100 pasukan yang dilengkapi teleppon,  jalur trem, dipagari besi, kawat berduri dan rumah jaga di pintu gerbang. Penerapan garis konsentrasi sukar diterapkan karena memerlukananggota banyak. Untuk merekrut serdadu dari Eropa tidak mudah karena perlu biaya tinggi. Di sisi lain, tentara-tentara Belanda menjamin promosi pangkat. KNIL adalah bagian dari Kementrian Koloni Belanda yang tidak termasuk dalam jajaran Angkatan Darat Kerajaan Belanda.
Selama ini kepangkatan di lingkungan KNIL diperoleh dari luar Kementrian Koloni. Sedangkan periwira-perwira pada umumnya adalah pensiunan tentara kerajaan atau relawan. Kelak anggota KNIL, direkrut prajurit-prajurit pribumi dari Maluku, Minahasa, Timor yang dikenal ahli dalam perang hutan. Kemudian direkrut orang-orang Jawa yang sebagian besar dari Banyumas.
Pada malam hari, 8 November 1883 Kapal Uap SS Niesco milik Inggris berlayar lepas pantai barat sekitar Teunom Aceh Barat. Dalam perjalanan kembali ke Inggris membawa rarusan karung gula dari pelabuhan Surabaya dihantam badai dan hujan lebat dan gelombang menyeret ke daratan. Nahkoda bersama 29 anak buah kapal kandas dimuara sungai dekat Panga, sekitar 40 mil bagian utara Meulaboh. Kendati Aceh dilanda peperangan untuk ketiga kali, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Imam menjarah isi kapan dan menyandera awak kapal.
Penyanderaan ini di maksudkan untuk menarik Inggris untuk mau melakukan kemauan Aceh untuk membebaskan perdagangan internasional untuk selama-lamanya. Beberapa pertemuan dilakukan Inggris dan pihak Aceh tapi tidak pernah ada titik temu. Hinnga awak kapal mati di Aceh dan Pemerintah Inggris di kecam oleh pihak keluarga-keluarga tawanan.

D.   Perang Aceh keempat

 Taktik gereliya Aceh ditiru oleh ven Heutz denngan membentuk pasukan Marshaussee yang dipimpin oleh Christoffer yang mampu menguasai hutan rimba raya mencari geriliyawan-geriliyawan. Perang hutan dilancarkan ini mampu menaklukan istana Keumala pada Juni 1898. Pasukan van heutz melanjutkan pemburuan terhadap Panglima Polem dan Sultan Daud sepanjang pantai utara, Pasai, bahkan pegunungan terpencil di Tangse.
Teuku umar tiba di pantai barat pada Agustus 1898 bersama 800 pasukan yang menimbulkan keresahan bagi penguasa di wilayah itu yang  berpihak pada Belanda. Van Heutz  mengetahui Umar dengan mengirim enam brigade Marshaussee dan satu batalyon infantri. Pengejaran dilakukan di tengah musim hujan yang membuat medan sukar dilewat. Pada Januari 1899, van Heutz ke Meulaboh karena disinyalir  Umar disana. Pada 10 Februari 1899, van Heutz memberi perintah kepada satu detasemen untuk menyergap perkemahan Umar.  Ternyata Umar sudah tahu karena malam sebelumnya dia memutar di Meulaboh untuk menyerbu kota itu. Van Heutz menyebarkan mata-mata melacak Umar. Hasilnya, seorang informan yakni Leubeh membocorkan posisi Umar.
Naluri Van Heutz sangat tajam. Malam itu juga , ia memerintahkan satu regu yang terdiri dari 18 prajurit turunan Jawa dan dua sersan Eropa yang dipimpin oleh Letnan Verburg berjalan sejauh 20 menit dari Meulaboh untuk memasang jebakan. Verburgh menempatkan pasukan detasemen kecil di pantai. Beberapa jam kemudian, Verburgh melihat dalam kegelapan muncul kerumunan orang. Tembakan serentak dilepaskan yang menimbulkan kepanikan.  Lalu, Verburgh menarik mundur opasukan untuk mencegah kekuatan yang jauh lebih besar. Esok paginya, 11 Februari 1899, Belanda menyaksikan jenazah bergelimpangan di pantai. Sedangkan jenazah Teuku Umar di bawa kabur oleh anak buahnya untuk dikuburkan di hutan.
Pada 1899, duet Van Heutz dan Hurgronje melakukan ekspedisi-ekspedisi secara frontal dengan menjelajahi pantai timur dan barat. Termasuk melunasi utang di Batee Iliek olrh Karel van Heijden. Van Heutz memimpin ekspedisi di Batee Iliek pada tahun 1901 dengan menggunakan peluru-peluru yang dimuntahkan meriam kapal jarak jauh dan Howitzer berat ke Batee Iliek. Namun saja tidak dapat meratakan benteng utama pertahanan pasukan Samalaga di bawah pimpinan Panglima Polem. Serangan dilakukan dengan mendaki bukit melalui lapangan depan tang ditaburi ranjau dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan karang yang di gelindingkan uleh pasukan Aceh ke bawah. Belanda juga di hujani oleh penembak-penembak jitu dari senapan mauser yang digunakan oleh Aceh. Pertempuran Samalaga terjadi pada 3 Februari 1901 yang bertepatan dengan hari ulang tahun van Heutz ke-50.
Penyerangan Benteng Batee Iliek menelan korban 5 orang tewas dan 27 marsose luka-luka. Pasukan penyerbu memasuki dan dihalangi oleh barisan perlawanan. Seorang laki-laki berjanggut panjang dengan obor menyala berlari menuju gudang mesiu. Tak lama kemudian terdengar 2 ledakan yang mengakhiri pertempuran di Benteng Batte Iliek. Dalam benteng tersebut terbaring 71 orang tewas dari barisan perlawanan. Tak jauh dari tempat itu terdapat desa tempat bermukimnya Panglima Polem yang telah melarikan diri dan meninggalkan sebuah foto ukuran besar dirinya sendiri di sebuah gubuk.
Taktik berikutnya yang diracik oleh Belanda adalah menculik anggota keluarga geriliyawan. Christoffel menculik permaisuri sultan pada Desember 1902. Van der Maaten menawan putra Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, SultanMuhammad Daud menyerah pada Januari 1903 di Singli dan berdamai. Van dder Maaten menyerbu Tangse mencari panglima Polem yang berhasil meloloskan diri. Sebagai gantinya ditangkap putra Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya, dan beberapa keluarga dekatnya. Hasilnya, Panglima Polem menyerah di Lhoksumawe pada Desember 1903.
Setelah Teuku Umar wafat, perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya Cut Nyak Dien yang sudah ikut perang Aceh dari pertama dan kedua. Cut Nyak Dien di bantu dengan 800 pasukan dan perwira-perwira bawahan Teuku Umar seperti Pang LaotAli dan Pang Karim. Pada tahun 1904, Dien menyerang Marshausseeyang menewaskan perwira berpangkat kapten. Peristiwa ini melambungkan nama Dien di Aceh dan juga Eropa. Sejak akhir abad 19, di Eropa marak aksi unjuk rasa gerakan feminisme menuntut persamaan hak wanita. Perjuangan Dien menjadi buah bibir terutama dikalangan pejuang gender Eropa.

No comments:

Post a Comment