Saturday 16 February 2013

BABAD

Kata babad berasal dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa kata ini artinya ialah "membuka lahan baru" atau "memotong pohon/hutan". Hubungannya dengan sejarah ialah bahwa sejarah suatu wilayah biasanya dimulai dengan pembukaan daerah tersebut. Babad adalah suatu karya sastra sejarah kuno yang biasanya merupakan suatu cerita, legenda, ataupun mitos. Babad dibuat oleh seseorang yang mungkin berpengaruh dan mengerti atas suatu hal yang ada dalam babad yang dibuat.
            Ada beberapa babad yang terkenal di Nusantara, antara lain adalah
a)     Babad Arya Tabanan
b)    Babad Brebes
c)     Babad Giyanti
d)    Babad Prayut
e)     Babad Suropati
f)     Babad Tanah Jawi
a.    Babad Arya Tabanan (Bali)
Babad Arya Tabanan adalah babad yang dapat diketemukan di tulisan-tulisan lontar kuno yang dimiliki beberapa Puri (Keraton) di Tabanan, Bali, Indonesia. Babad ini menceritakan awal ekspedisi Majapahit ke Bali yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Arya Damar (Adityawarman). Dalam babad ini disebutkan ada kisah dizaman dahulu, sekitar tahun saka 1250-1256 ada keturunan raja yang tinggal di Kerajaan Kahuripan menurunkan enam anak laki-laki. Putra sulung bernama Rahaden Cakradara ( suami Raja Putri Majapahit III yang bergelar Jaya Wisnu Wardani atau Ratu Bra Kahuripan), adik-adiknya secara berturutan bernama Sirarya Dhamar, Sirarya Kenceng, Sirarya Kuta Wandira ( Kuta Waringin ), Sirarya Sentong dan yang bungsu Sirarya Belog (Tan Wikan ).

b.    Babad Brebes
Babad Brebes tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan zaman dahulu yang berdiri di tanah Jawa dan tanah Sunda, diantaranya kerajaan Galuh Kawali, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Kalingga, kerajaan Pajajaran, kerajaan Mataram, kesultanan Demak, kesultanan Pajang l yang daerah kakuasaannya juga masuk wilayah Brebes. Babad Brebes juga tidak bisa dipisahkan dengan legenda-legenda dan mitos-mitos Ciung Wanara, kali Pemali dan lain-lainnya.
c.    Babad Giyanti
Babad Giyanti adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat yang dikarang oleh Yasadipura tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755. Sesudah keraton dipindahkan ke Surakarta dari Kartasura karena dibakar oleh orang Tionghoa, maka Pangeran Mangkubumi pun keluar dari keraton dan marah sampai memberontak. Sebab tanah bengkoknya dikurangi banyak sekali. Maka berperanglah beliau melawan keraton Surakarta. Selama peperangan ini beliau dibantu oleh banyak pangeran dan bangsawan lainnya, antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara I). Lalu Pangeran Samber Nyawa dibuat panglima perang.
Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi menaklukkan daerah-daerah di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram. Selanjutnya Pangeran Sambernyawa malahan bentrok dengan Pangeran Mangkubumi. Terjadinya bentrok ini karena kedua nya sama sama ingin mendapatkan supremasi tunggal kedaulatan yang tidak terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius dari Mangkubumi dalam mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil pemungutan suara antara memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan dukungan kepada Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs, 1991).Melihat dukungannya berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan kekuatan bersenjata tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan menderita kekalahan yang telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah telak dengan kekuatan Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa mendapat separuh kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh Mangkubumi.Mangkubumi meminta Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram dan berjanji setia dan tunduk kepada Belanda serta bersedia membantu Surakarta dan Belanda untuk melenyapkan Sambernyawa.Sebagai ikatan perjanjian yang baru antara bekas musuh maka Mangkubumi bersedia untuk memberikan isterinya Raden Ayu Retnosari dari Sukowati kepada Belanda atau VOC sebagai tanda perjanjian persahabatan yang baru itu.Akhirnya Pangeran Mangkubumi menjadi raja sendiri; sultan Hamengkubuwana I di kota baru yang dinamakan Yogyakarta Karya sastra ini memuat visi Yasadipura dari peristiwa di atas ini. Secara umum karya sastra ini dianggap indah dan mendapatkan kritik yang baik oleh para pakar kesustraan Jawa.
Masa penulisan Babad Giyanti tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan karya sastra ini digubah antara tahun 1757 dan 1803. Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang ditulis kejadian-kejadian peristiwanya di karya sastra ini. Sementara tahun 1803 merupakan tahun meninggalnya Yasadipura senior.
Tapi perlu dikemukakan di sini pula bahwa tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana karya sastra ini dikarang. Sebab Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior yang juga merupakan seorang sastrawan ternama. Yasadipura junior adalah kakek Ranggawarsita. Oleh para pakar sastra Jawa, Babad Giyanti biasanya dianggap dikarang oleh Yasadipura senior.
Babad Giyanti membahas peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di pulau Jawa antara tahun 1741 dan 1757. Peristiwa-peristiwa ini ditulis menurut sudut pandang atau opini Yasadipura. Tahun 1746 merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah Kasunanan Mataram mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun tersebut Mataram secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama muncul perang baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih ada. Lalu ketika perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian, pada tahun 1755, paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.
Alasan langsung bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun 1746. Beberapa tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan kepada VOC, karena VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu beliau harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.
Sunan Pakubuwana II memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya (1726-1749). Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang sangat berbeda dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena ada pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah pemberontakan di Madura yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak mengganggu sunan Pakubuwana II adalah kakaknya sendiri, pangeran Mangkunagara. Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun bagi putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk membangkang dan membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka beliau menjanjikan imbalan bagi yang bisa mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II berpendapat bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II sebenarnya tidak apa-apa.
Masalah dengan Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan Pakubuwana II, maka beliaupun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di keraton. Iapun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk pendapatan yang hilang.
Perang awalnya berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka hanya bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh pulau Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik perang gerilya. Sementara ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, namun beliaupun ingin menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang jatuh sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
Kala itu terlihat jelas bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan yang lain. Maka kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel. Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan mangkubumi tidak cukup untuk mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari 1755 perjanjian ini ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana III tidak bisa berbuat lain daripada menerima kenyataan. Sementara itu Raden Mas Said dua tahun kemudian pada tahun 1757 memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan syarat beliau boleh menjadi raja. Tuntutannya dituluskan dan beliau mendapat wilayah yang diambil dari wilayah Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.
d.    Babad Prayut
Babad Prayut ini adalah lanjutan daripada Babad Giyanti, karangan Yasadipura pula. Kitab ini menceritakan peristiwa-peristiwa setelah selesainya Perjanjian Giyanti. Karya sastra ini hanya menceritakan seputar perkara-perkara kecil, seperti pemberontakan kecil-kecilan, antar langgar batas antara Surakarta dan Yogyakarta. Lalu salah satu bagian penting ialah perceraian antara K.P.H. Mangkunegara, dengan istrinya Ratu Bendara, atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I. Selain itu hubungan persaudaraan antara Surakarta dan Yogyakarta juga dibicarakan.
e.    Babad Suropati
Babad Suropati berisi sejarah Jawa dari sudut pandang masyarakat Jawa sendiri. Isinya merupakan campuran catatan sejarah yang akurat hingga beberapa dongeng fantasi. Babad Suropati merupakan peninggalan sejarah tak ternilai. Banyak sekali cerita babad yang mencatat beberapa pertempuran di Jawa pada abad 17 hingga 18. Babad Suropati mengisahkan budak Bali yang menjadi saksi beberapa babak persaingan antara keluarga bangsawan Jawa dan Belanda dalam menguasai daerah Jawa Timur, hingga kematiannya pada 1706. Keterlibatan Suropati antara lain terjadi dalam peristiwa pembunuhan Kapten Belanda François Tack, yang sebenarnya diperintahkan untuk membunuhnya. Pertempuran ini berlangsung hebat. Suropati bertarung seperti legenda Yaksa. Kekuatannya sebenarnya sudah melemah, namun Pangeran Puger tepat waktu dengan 12 tentara. ‘Tack’ yang lengah diserang dan perkelahian itu membuat baju besinya terbelah. Ia mati karena tusukan di dada hingga menembus punggung. Kapten Tack akhirnya mati bersama seluruh pasukannya.
f.     Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa. Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam. Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18. Buku ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
            Beberapa contoh babad yang ada di Nusantara dan kebanyakan berisi tentang sejarah-sejarah masa kuno di Indonesia. Babad dapat juga dijadikan sumber dalam suatu sejarah. Tetapai adapun babad yang hanyalah karangan fiksi dari pujangga yang menulisnya.

No comments:

Post a Comment