Kata babad berasal dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa kata ini artinya
ialah "membuka lahan baru" atau "memotong pohon/hutan".
Hubungannya dengan sejarah ialah bahwa sejarah suatu wilayah biasanya dimulai dengan
pembukaan daerah tersebut. Babad adalah suatu karya sastra sejarah kuno yang
biasanya merupakan suatu cerita, legenda, ataupun mitos. Babad dibuat oleh
seseorang yang mungkin berpengaruh dan mengerti atas suatu hal yang ada dalam
babad yang dibuat.
Ada
beberapa babad yang terkenal di Nusantara, antara lain adalah
b) Babad Brebes
d) Babad Prayut
a.
Babad
Arya Tabanan (Bali)
Babad Arya Tabanan adalah babad yang
dapat diketemukan di tulisan-tulisan lontar
kuno yang dimiliki beberapa Puri (Keraton) di
Tabanan, Bali, Indonesia. Babad
ini menceritakan awal ekspedisi Majapahit ke Bali
yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan
Arya Damar (Adityawarman).
Dalam babad ini disebutkan ada kisah dizaman dahulu, sekitar tahun saka
1250-1256 ada keturunan raja yang tinggal di Kerajaan Kahuripan menurunkan enam
anak laki-laki. Putra sulung bernama Rahaden Cakradara ( suami Raja Putri
Majapahit III yang bergelar Jaya Wisnu Wardani atau Ratu Bra Kahuripan),
adik-adiknya secara berturutan bernama Sirarya Dhamar, Sirarya Kenceng, Sirarya
Kuta Wandira ( Kuta Waringin ), Sirarya Sentong dan yang bungsu Sirarya Belog (Tan
Wikan ).
b.
Babad Brebes
Babad Brebes tidak bisa dipisahkan
dengan sejarah kerajaan-kerajaan zaman dahulu yang berdiri di tanah Jawa dan
tanah Sunda,
diantaranya kerajaan Galuh Kawali, kerajaan Tarumanegara,
kerajaan Kalingga,
kerajaan Pajajaran,
kerajaan Mataram,
kesultanan Demak,
kesultanan Pajang l
yang daerah kakuasaannya juga masuk wilayah Brebes. Babad Brebes juga tidak
bisa dipisahkan dengan legenda-legenda dan mitos-mitos Ciung Wanara,
kali Pemali dan lain-lainnya.
c.
Babad
Giyanti
Babad Giyanti
adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat
yang dikarang oleh Yasadipura
tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755.
Sesudah keraton
dipindahkan ke Surakarta
dari Kartasura
karena dibakar oleh orang Tionghoa,
maka Pangeran Mangkubumi pun keluar dari keraton dan
marah sampai memberontak. Sebab tanah bengkoknya
dikurangi banyak sekali. Maka berperanglah beliau melawan keraton Surakarta.
Selama peperangan ini beliau dibantu oleh banyak pangeran dan bangsawan lainnya,
antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara I).
Lalu Pangeran Samber Nyawa dibuat panglima perang.
Dalam
peperangan ini, Pangeran Mangkubumi menaklukkan daerah-daerah
di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram. Selanjutnya Pangeran Sambernyawa malahan bentrok
dengan Pangeran Mangkubumi. Terjadinya bentrok ini
karena kedua nya sama sama ingin mendapatkan supremasi tunggal kedaulatan yang
tidak terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius dari Mangkubumi dalam
mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil pemungutan suara antara
memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan dukungan kepada
Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs, 1991).Melihat
dukungannya berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan kekuatan
bersenjata tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan menderita
kekalahan yang telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah telak
dengan kekuatan Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa mendapat
separuh kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh
Mangkubumi.Mangkubumi meminta Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram dan
berjanji setia dan tunduk kepada Belanda serta bersedia membantu Surakarta dan
Belanda untuk melenyapkan Sambernyawa.Sebagai ikatan perjanjian yang baru
antara bekas musuh maka Mangkubumi
bersedia untuk memberikan isterinya Raden Ayu Retnosari
dari Sukowati kepada
Belanda
atau VOC
sebagai tanda perjanjian persahabatan yang baru itu.Akhirnya Pangeran
Mangkubumi menjadi raja
sendiri; sultan Hamengkubuwana I di
kota baru yang dinamakan Yogyakarta
Karya sastra ini memuat visi Yasadipura dari peristiwa di atas ini. Secara umum
karya sastra ini dianggap indah dan mendapatkan kritik yang baik oleh para
pakar kesustraan Jawa.
Masa
penulisan Babad Giyanti tidak
diketahui secara pasti. Namun diperkirakan karya sastra ini digubah antara
tahun 1757 dan
1803.
Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang ditulis kejadian-kejadian peristiwanya di
karya sastra ini. Sementara tahun 1803 merupakan tahun meninggalnya Yasadipura senior.
Tapi
perlu dikemukakan di sini pula bahwa tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana
karya sastra ini dikarang. Sebab Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior
yang juga merupakan seorang sastrawan ternama. Yasadipura junior
adalah kakek Ranggawarsita.
Oleh para pakar sastra
Jawa,
Babad Giyanti biasanya dianggap
dikarang oleh Yasadipura senior.
Babad
Giyanti membahas peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di pulau Jawa antara
tahun 1741 dan
1757.
Peristiwa-peristiwa ini ditulis menurut sudut pandang atau opini Yasadipura. Tahun
1746
merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah
Kasunanan Mataram mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
tahun tersebut Mataram secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan
bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama muncul
perang baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih ada. Lalu
ketika perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian, pada
tahun 1755,
paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.
Alasan
langsung bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang
dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun 1746. Beberapa
tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan kepada VOC, karena VOC telah membantu
Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff menuntut janji sang
Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang pernah menjanjikan
daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu beliau harus melarikan
diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.
Sunan
Pakubuwana II memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya
(1726-1749). Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang
sangat berbeda dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena
ada pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah
pemberontakan di Madura yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota
sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta
kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak
mengganggu sunan Pakubuwana II adalah kakaknya sendiri,
pangeran Mangkunagara. Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka
berkat bantuan VOC. Namun bagi putranya, Raden Mas Said,
hal ini menjadikan alasan untuk membangkang dan membalas dendam terhadap
pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II tidak kuat melawan Raden
Mas Said, maka beliau menjanjikan imbalan bagi yang bisa mengusirnya. Seorang
adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Raden Mas
Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II berpendapat bahwa imbalannya
terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II sebenarnya tidak apa-apa.
Masalah
dengan Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi
di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan
Pakubuwana II, maka beliaupun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang
keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai
dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di
keraton. Iapun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya
yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya
alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya
menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk
pendapatan yang hilang.
Perang
awalnya berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka
hanya bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh
pulau Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik
perang gerilya. Sementara
ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, namun beliaupun
ingin menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang
jatuh sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan
dirinya sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena
Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II
menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
Kala
itu terlihat jelas bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan
yang lain. Maka kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu
Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel.
Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga
situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi
raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa
melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk
melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah
kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan
mangkubumi tidak cukup untuk mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari 1755
perjanjian ini ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah
timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I.
Sunan Pakubuwana III tidak bisa berbuat lain daripada menerima kenyataan.
Sementara itu Raden Mas Said dua tahun kemudian pada tahun 1757
memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan syarat beliau boleh menjadi
raja. Tuntutannya dituluskan dan beliau mendapat wilayah yang diambil dari
wilayah Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.
d.
Babad Prayut
Babad Prayut ini adalah lanjutan
daripada Babad Giyanti, karangan Yasadipura
pula. Kitab ini menceritakan peristiwa-peristiwa setelah selesainya Perjanjian Giyanti. Karya sastra ini
hanya menceritakan seputar perkara-perkara kecil, seperti pemberontakan
kecil-kecilan, antar langgar batas antara Surakarta dan
Yogyakarta.
Lalu salah satu bagian penting ialah perceraian antara K.P.H. Mangkunegara,
dengan istrinya Ratu Bendara, atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I. Selain
itu hubungan persaudaraan antara Surakarta dan
Yogyakarta
juga dibicarakan.
e.
Babad Suropati
Babad Suropati berisi sejarah Jawa
dari sudut pandang masyarakat
Jawa sendiri. Isinya merupakan campuran catatan sejarah yang akurat hingga
beberapa dongeng fantasi. Babad
Suropati merupakan peninggalan sejarah tak ternilai. Banyak sekali cerita babad
yang mencatat beberapa pertempuran di Jawa pada abad 17 hingga 18. Babad
Suropati mengisahkan budak Bali
yang menjadi saksi beberapa babak persaingan antara keluarga bangsawan
Jawa dan Belanda
dalam menguasai daerah Jawa
Timur, hingga kematiannya pada 1706. Keterlibatan
Suropati antara lain terjadi
dalam peristiwa pembunuhan Kapten
Belanda François Tack, yang sebenarnya
diperintahkan untuk membunuhnya. Pertempuran ini berlangsung hebat. Suropati
bertarung seperti legenda Yaksa. Kekuatannya sebenarnya
sudah melemah, namun Pangeran Puger tepat waktu dengan 12 tentara.
‘Tack’ yang lengah diserang dan perkelahian itu membuat baju
besinya terbelah. Ia mati karena tusukan di dada
hingga menembus punggung.
Kapten Tack akhirnya mati bersama seluruh pasukannya.
f.
Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi
merupakan karya sastra sejarah
dalam berbentuk tembang Jawa.
Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram,
buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi
di tanah Jawa. Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan
Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan
nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di
tanah Jawa hingga Mataram Islam. Silsilah
raja-raja Pajajaran
yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak,
terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan
Mataram
pada pertengahan abad ke-18. Buku ini telah dipakai sebagai salah satu babon
rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan
pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Beberapa contoh babad yang ada di Nusantara dan
kebanyakan berisi tentang sejarah-sejarah masa kuno di Indonesia. Babad dapat
juga dijadikan sumber dalam suatu sejarah. Tetapai adapun babad yang hanyalah
karangan fiksi dari pujangga yang menulisnya.
No comments:
Post a Comment