Tuesday 22 May 2012

Asal Usul RMS (Repoeblik Maloekoe Selatan)


Sejarah Terbentuknya Republik Maluku Selatan RMS : Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat.
Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS(bermimpi) tidak menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh
Pemimpin pertama RMS
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans Tutuhatunewa turun pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
RMS di dukung belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.
Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.

VOC Di Makassar


Kedatangan VOC di Indonesia memang banyak menghasilkan kontroversi dimana saja tempat yang mereka singgahi, tak terkecuali di Hitu (Ambon Utara) , di pulau yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah ini banyak tindakan agresif yang dilakukan oleh penduduk pribumi setempat yang menentang kebijakan yang dilakukan oleh VOC (Belanda), karena yang dilakukan mereka (VOC) adalah memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan cengkih yang temtu saja menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Maka dari itu, muncul persekutuan untuk menentang VOC, yang utama terdiri dari kaum muslim Hitu, ternate dan dibantu dari Makassar, Gowa
Persekutuan ini dipimpin oleh Kakiali , seorang Hitu yang memeluk Muslim, yang dimasa mudanya ia pernah menimba ilmu dengan Sunan Giri di Jawa. Pada tahun 1633, dia menggantikan ayah-nya sebagai ‘Kapitein Hitoe’, pemimpin rakyat Hitu dibawah naungan VOC, sera berpura-pura bersahabat dengan-nya, sekali-kali ia mendukung komplotan-komplotan anti VOC. Orang-orang Hitu mulai membangun benteng-benteng di pedalaman, dan para pejuang pemeluk islam mulai menjarah perkampungan Kristen. Penyelundupan cengkih yang dilarang VOC semakin berkembang karena VOC tidak memiliki kekuatan militer. Pada tahun 1634, VOC memperdaya Kakiali diatas kapal milik VOC dan menawanya. Yang menyeabkan larinya orang-orang Hitu ke bennteng-beteng mereka dan bersiap menghadapi peperangan. Perlawanan terhadap VOC pun semakin luas dan bahkan sampai merembes ke rakyat Kristen.
Pada tahun 1637 , Van Diemen ikut melancarkan serangan terhadap pasukan-pasukan ternate di Hoamoal dengan kekuata penuh dan berhasil memuku mundur pasukan pribumi dari benteng mereka. Kemudian Van Diemen membebaskan Kakiali dengan tujuan mengembalikan kepercayaan penduduk Hitu, dan mendudukinya kembali sebagai ‘Kapitein Hitoe’. Tampaknya perdamaian berhasil dipulihkan dan Kakiali bersumpah akan melaksanakan monopoli perdagangan, akan tetapi kebencian terhadap VOC nampaknya egitu mendarah daging dibenak para penduduk setempat dan Kakiali, sehingga setelah Van Diemen meninggalkan Maluku. Kakiali mengambil langkah-langkah membentuk persekutuan di Hitu,orang-orang ternate yang berada di Hoamoal, dan Gowa. Selain itu ia juga mendorong dilakukannya perdagangan rempah-rempah secara gelap. Namun demikian Sultan Alaudin Tumenanga ri Gaukana di Gowa tetap berhati-hati karena takud dengan VOC
Pada tahun 1638. Van Diemen kembali ke Maluku, dan berusaha mencapai persetujuan dengan Raja Ternate. Pihak VOC mau mengakui kedaulatan kerajaan Ternate atas Seram dan Hitu. Tetapi dengan kesepakatan penyelundupan cengkih akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto di Maluku Selatan, Kakiali dan gubernur ternate di Hoamoal tidak bersedia dalam perundingan tersebut. Sehingga tidak mencapai kesepakatan. Tampak jika Raja ternate dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk memenuhi permintaan VOC. Sementara itu pertempuran-pertempuran kecil masih berlangsung dan Kakiali yang masih menjabat ebagai ‘Kapitein Hitoe’ berusah menyusun rencana guna melawan Belanda.
Pada tahun 1641 Kakiali melepas kedok persahabatanya. Ia menyerang desa yang bersahabat degan VOC. Dan kemudian benteng VOC. Prajurit Makassar pun bergabung dengan-nya. Suatu faktor yang akhirnya akan memberikan presepsi kepada pihak Belanda bahwa Makassar patut diperhitungkan. Memang Kakiali dan para sekutunya memilih waktu yang salah untuk merebut kekuasaan. Karena jatuhnya Malaka ke tangan VOC pada tahun 1641 pihak Belanda kini dapat mengarahkan lebih banyak pasukanya untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka di Indonesia bagian timur
Sebuah pasukan VOC berhasil mengusir tentara makasar dari kubu-kubu pertahanan mereka di Hitu di tahun 1643. Tetapi tidak berhasil merebut benteng Kakiali. Kemudian pada bulan agustus, pihak belanda mengupah seorang spanyol yang telah membelot dari Kakiali supaya kembali ke Hitu untuk membunuh Kakiali, dan merebut benteng. Tetapi masih banyak orang Hitu yang melanjutkan perang mereka melawan VOC dari suatu tempat yang baru, Kapaha di sebelah utara Hitu. Namun pada juli 1646, Kapaha akhirnya dapat direbut. Pemimpin tahap terakhir masyarakat Hitu, Tulakabesi, menyerah dan bersedia memeluk Kristen. Meskipun demikian VOC menghukumnya dengan hukuman mati di Ambon pada 1646.
Inilah terakhir perlawanan efektif yang dilakukan untuk melawan VOC di Hitu. Walaupun setelah itu masih dilakukan berbagai usaha dengan membentuk komplotan-komplotan anti-VOC tapi tak ada satu komplotan pun yang menjadi ancaman nyata bagi VOC seperti yang pernah ditunjukan masyarakat Hitu pada sebelum tahun 1646.